Kamis, 16 Mei 2013

KODE KEHORMATAN HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh lembaga- lembaga yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX UUD 1945 menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga ekstra-yudisial.
Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim di Indonesia, di mana terdapat suatu kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya.
Kode Etik Profesi Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.[1] Seiring berjalannya waktu, perkembangan berbagai hal seputar IKAHI sebagai wadah profesi hakim dan Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung. Dan yang paling terkini adalah ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim bersamaan dengan disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yang disusun KY, sehingga peristiwa ini menjadi bagian dari ketidaksepahaman antara MA dan KY.

Berkaitan dengan fenomena yang tengah berkembang di masyarakat seputar konflik antara MA dan KY, Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya berpendapat bahwa suatu kode etik berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga sebuah kode etik harus disusun oleh profesi yang bersangkutan yang akan menjalankan kode etik tersebut. Alangkah janggalnya apabila kode etik disusun oleh suatu institusi di luar profesi yang akan menjadikan kode etik itu sebagai pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman untuk melakukan pekerjaan dibuat sendiri oleh pihak yang akan menjalankan pekerjaan tersebut. Bagaimanapun, kode etik dibuat untuk mengatur perilaku dan sepak terjang individu profesional dalam menjalankan profesinya.[2]
Penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari agenda reformasi telah menjadi komitmen pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga saat ini. Namun demikian, harapan pencari keadilan terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak. Masyarakat mengkritik bahwa lembaga peradilan belum seperti yang diharapkan. Lambat menangani perkara, biaya yang mahal, administrasi yang berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku pejabat peradilan yang dianggap tercela, hingga dugaan adanya mafia peradilan (judicial corruption) menjadi alasan tidak percayanya sebagian besar masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Seiring berjalannya pemerintahan sejak awal reformasi hingga saat ini, publik sadar bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan. Hal ini mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional. Keadaan badan peradilan yang demikian mendesak pihak- pihak yang berwenang dalam menjalankan negara ini untuk melakukan upaya- upaya luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang dapat menjamin masyarakat memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.
Terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah tidak efektifnya pengawasan internal yang diterapkan di badan peradilan selama ini. Dengan kata lain, tingginya urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1.      kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai;
2.      proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan;
3.      belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses);
4.      semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu; dan
5.      tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.

B.     Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimanakah Profesi Hakim dan Karakteristiknya?
2.      Bagaimanakah tanggung jawab profesi Hakim.?
3.      Bagaimanakah tanggung jawab moral Hakim?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan pembuatan makalah adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata perkuliahan Etika dan Tanggung Jawab Profesi, dan untuk memberikan pengetahuan bagi pembaca khususnya untuk pembuat paper ini dan umumnya untuk para mahasiswa Universitas Pakuan.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Profesi Hakim dan Karakteristiknya
Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.[3]
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
1.      Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
2.      Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3.      Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
4.      Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.
5.      Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas.

6.      Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.

B.     Tanggung Jawab Moral Hakim
Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini.
1.      To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).
2.      To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).
3.      To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4.      To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).

C.    Sikap Hakim dalam Kedinasan
Sikap, sifat, dan etika kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti telah diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan di persidangan pada saat hakim menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia terapkan dalam menjalankan tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang di pengadilan ketika sedang memimpin persidangan. Secara umum, yang harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yang menjadi pencari keadilan dalam persidangan adalah:
1.      bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku;
2.      tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati terhadap pihak-piha yang berperkara;
3.      harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan;
4.      harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan; dan
5.      bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang hakim juga harus menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan.

D.    Sikap Hakim Di Luar Kedinasan
Di samping itu, di luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga harus senantiasa menjaga sikap dan perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:
1.      memiliki kesehatan jasmani dan rohani;
2.      berkelakuan baik dan tidak tercela;
3.      tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan;
4.      menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat; dan
5.      tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim.
E.     Tanggung Jawab Hukum Hakim
Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:
1.      bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
2.      bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan
3.      bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3)).
Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.



F.     Tanggung Jawab Teknis Profesi Hakim
Jenis tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.

G.    Hubungan Kode Kehormatan Hakim Dengan Undang-Undang
Jabatan hakim diatur dengan undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Seorang yang menjabat hakim harus mematuhi undang-undang dan berpegang pada Kode Kehormatan Hakim. Hubungan antara undang-undang dan Kode Kehormatan Hakim terletak pada ketentuan Kode Kehormatan Hakim yang juga diatur dalam undang-undang, sehingga sanksi pelanggaran undang-undang diberlakukan juga pada pelanggaran Kode Kehormatan Hakim.
Apabila menurut Majelis Kehormatan Hakim ternyata seorang hakim terbukti telah melakukan pelanggaran, maka berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1), hakim yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
1.      Dipidana karena bersalah melakukan tindakan pidana kejahatan.
2.      Melakukan perbuatan tercela.
3.      Terus menerus melalaikan kewajiban menjalankan tugas pekerjaan.
4.      Melanggar sumpah atau janji jabatan.
5.      Melanggar larangan pasal 18 (rangkap jabatan)
Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dilakukan setelah hakim yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
Menurut penjelasan pasal tersebut:
1.      Yang dimaksud dengan "dipidana" ialah dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
2.      Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" ialah apabila hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan martabat hakim.
3.      Yang dimaksud dengan "tugas pekerjaan" ialah semua tugas yang dibebankan kepada hakim yang bersangkutan.[4]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
Dengan adanya kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya harapannya adalah untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum. Tetapi kenyataannya sekarang Hakim banyak menyimpang dari kode etik tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai ke publik.

B.     Saran
Untuk itu, butuh adanya suatu landasan bagi hakim untuk menerapkan kode etik profesinya dalam praktek sehari-hari. Hal ini karena kode etik hanya merupakan sebatas aturan saja. Adanya Komisi Yudisial ataupun komisi yang dibentuk oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) belum mencukupi dalam mengawasi hakim menjalankan tugasnya. Dibutuhkan hukum yang tegas, moralitas hakim yang baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan kode etik profesinya tersebut.
Hal ini dikarenakan, kode etik profesi hakim merupakan sebuah hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tetap dan tegas yang bersumber dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agama berupa akhlaq yang melahirkan nilai-nilai moralitas hakim yang baik. Dan hakim dalam menjalankan etika profesinya sudah pasti harus diikuti pula dengan keimanan seorang hakim terhadap agamanya karena hal tersebut akan menunjukan moralitas yang dimiliki oleh seorang hakim sehingga ia akan menjalankan etika profesinya dengan baik.
Sebuah aturan (kode etik) yang bersumber dari nilai-nilai kebaikan sudah tentu akan bisa dijalankan dengan niat dan cara yang baik pula.















DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku
Kamil, Iskandar. "Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.
 Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya Pramita, 1996.
B.     Internet


[1] Iskandar Kamil, "Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006), hal. 35.
[2] Ibid., hal. 40.
[3] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Pradnya Pramita, 1996), hal. 46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar