BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang
tercantum pula dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Sebagai konsekuensi dari sistem
pembagian kekuasaan yang diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau
yudikatif dipegang oleh lembaga- lembaga yang telah ditentukan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX UUD
1945 menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan
kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi
Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan
di bawahnya) dan MK yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan
KY tidak memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai
lembaga ekstra-yudisial.
Pengadilan, sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang
berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria
mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin
pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama
lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan
yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau
bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam
rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya
tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu
diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa".
Hal ini menegaskan bahwa kewajiban
menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia,
tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap profesi di berbagai bidang
memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan
profesi yang bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim di Indonesia,
di mana terdapat suatu kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku
di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai
pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur tata
tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya.
Kode Etik Profesi Hakim Indonesia
pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI
tanggal 5-7 April 1965.[1]
Seiring berjalannya waktu, perkembangan berbagai hal seputar IKAHI sebagai
wadah profesi hakim dan Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung.
Dan yang paling terkini adalah ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim
bersamaan dengan disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yang disusun
KY, sehingga peristiwa ini menjadi bagian dari ketidaksepahaman antara MA dan
KY.
Berkaitan dengan fenomena yang
tengah berkembang di masyarakat seputar konflik antara MA dan KY, Hakim Agung
Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya berpendapat bahwa
suatu kode etik berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga sebuah kode etik
harus disusun oleh profesi yang bersangkutan yang akan menjalankan kode etik
tersebut. Alangkah janggalnya apabila kode etik disusun oleh suatu institusi di
luar profesi yang akan menjadikan kode etik itu sebagai pedomannya. Idealnya,
sebuah pedoman untuk melakukan pekerjaan dibuat sendiri oleh pihak yang akan
menjalankan pekerjaan tersebut. Bagaimanapun, kode etik dibuat untuk mengatur
perilaku dan sepak terjang individu profesional dalam menjalankan profesinya.[2]
Penegakan supremasi hukum sebagai
bagian dari agenda reformasi telah menjadi komitmen pemerintah sejak masa
keruntuhan rezim Orde Baru hingga saat ini. Namun demikian, harapan pencari
keadilan terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh
keadilan belum sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak. Masyarakat mengkritik
bahwa lembaga peradilan belum seperti yang diharapkan. Lambat menangani
perkara, biaya yang mahal, administrasi yang berbelit-belit, perbuatan dan
tingkah laku pejabat peradilan yang dianggap tercela, hingga dugaan adanya
mafia peradilan (judicial corruption) menjadi alasan tidak percayanya sebagian
besar masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Seiring berjalannya pemerintahan
sejak awal reformasi hingga saat ini, publik sadar bahwa praktik penyalahgunaan
wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi
peradilan. Hal ini mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan
peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional. Keadaan badan peradilan
yang demikian mendesak pihak- pihak yang berwenang dalam menjalankan negara ini
untuk melakukan upaya- upaya luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya
badan peradilan dan hakim yang dapat menjamin masyarakat memperoleh keadilan,
dan diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan
perundang-undangan.
Terjadinya praktik penyalahgunaan
wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah
tidak efektifnya pengawasan internal yang diterapkan di badan peradilan selama
ini. Dengan kata lain, tingginya urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai
lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal
tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. kualitas dan integritas pengawas
yang tidak memadai;
2. proses pemeriksaan disiplin yang
tidak transparan;
3. belum adanya kemudahan bagi
masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta
hasilnya (ketiadaan akses);
4. semangat membela sesama korps
(esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan
perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan
mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi
yang buruk itu; dan
5. tidak terdapat kehendak yang kuat dari
pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.
B.
Identifikasi Masalah
Identifikasi
masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah Profesi Hakim dan
Karakteristiknya?
2. Bagaimanakah tanggung jawab profesi
Hakim.?
3. Bagaimanakah tanggung jawab moral
Hakim?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
pembuatan makalah adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata perkuliahan Etika
dan Tanggung Jawab Profesi, dan untuk memberikan pengetahuan bagi pembaca
khususnya untuk pembuat paper ini dan umumnya untuk para mahasiswa Universitas Pakuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Profesi
Hakim dan Karakteristiknya
Sebagai sebuah profesi yang
berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa
disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP
menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili. Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan
hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas,
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara
yang diatur dalam undang-undang.[3]
Hakim memiliki kedudukan dan peranan
yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa
nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam
menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi
manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan
bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai
berikut :
1. Profesi hakim adalah profesi yang
merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai
kemerdekaan dan keadilan.
2. Selanjutnya, nilai keadilan juga
tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana,
cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang.
Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib
menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak
hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi
juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya
tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum
karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia
wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan
sebagai nilai keterbukaan.
4. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja
sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang
berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim.
Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara
tertutup.
5. Hakim harus senantiasa
mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia
bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban
secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada
lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas.
6. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai
obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa
hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia
mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses
pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum,
panitera, maupun sesama majelis hakim.
B.
Tanggung
Jawab Moral Hakim
Secara
filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum
keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat
diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat
dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman
profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah
The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut
terdiri dari empat butir di bawah ini.
1. To hear corteously (mendengar dengan
sopan dan beradab).
2. To answer wisely (menjawab dengan
arif dan bijaksana).
3. To consider soberly (mempertimbangkan
tanpa terpengaruh apapun).
4. To decide impartially (memutus tidak
berat sebelah).
C.
Sikap
Hakim dalam Kedinasan
Sikap,
sifat, dan etika kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti telah
diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan di persidangan pada saat hakim
menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia terapkan
dalam menjalankan tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang
di pengadilan ketika sedang memimpin persidangan. Secara umum, yang harus
dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yang menjadi pencari keadilan dalam
persidangan adalah:
1. bersikap dan bertindak menurut
garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku;
2. tidak dibenarkan bersikap yang
menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati terhadap pihak-piha yang
berperkara;
3. harus bersikap sopan, tegas, dan
bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan;
4. harus menjaga kewibawaan dan
kekhidmatan persidangan; dan
5. bersungguh-sungguh mencari kebenaran
dan keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang hakim juga
harus menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan.
D.
Sikap
Hakim Di Luar Kedinasan
Di samping
itu, di luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga harus senantiasa
menjaga sikap dan perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:
1. memiliki kesehatan jasmani dan
rohani;
2. berkelakuan baik dan tidak tercela;
3. tidak menyalahgunakan wewenang untuk
kepentingan pribadi maupun golongan;
4. menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat; dan
5. tidak melakukan perbuatan-perbuatan
yang merendahkan martabat hakim.
E.
Tanggung
Jawab Hukum Hakim
Beberapa
peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan
mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi
hakim.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung
jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:
1. bahwa hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
(Pasal 28 ayat (1));
2. bahwa dalam mempertimbangkan berat
ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari
terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan
3. bahwa hakim wajib mengundurkan diri
dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan
ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29
ayat (3)).
Selain peraturan perundang-undangan
yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan
kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus
mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan
yang harus ditaati dan menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai
berikut.
F.
Tanggung
Jawab Teknis Profesi Hakim
Jenis
tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis
tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang
dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling
diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim
dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu
mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di
dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu,
adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam
aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam
mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah
unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
G. Hubungan Kode Kehormatan Hakim
Dengan Undang-Undang
Jabatan hakim diatur dengan
undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Seorang yang menjabat hakim harus mematuhi undang-undang dan berpegang pada
Kode Kehormatan Hakim. Hubungan antara undang-undang dan Kode Kehormatan Hakim
terletak pada ketentuan Kode Kehormatan Hakim yang juga diatur dalam
undang-undang, sehingga sanksi pelanggaran undang-undang diberlakukan juga pada
pelanggaran Kode Kehormatan Hakim.
Apabila menurut Majelis Kehormatan
Hakim ternyata seorang hakim terbukti telah melakukan pelanggaran, maka
berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1), hakim yang bersangkutan diberhentikan
tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
1. Dipidana karena bersalah melakukan
tindakan pidana kejahatan.
2. Melakukan perbuatan tercela.
3. Terus menerus melalaikan kewajiban
menjalankan tugas pekerjaan.
4. Melanggar sumpah atau janji jabatan.
5. Melanggar larangan pasal 18 (rangkap
jabatan)
Pengusulan pemberhentian tidak
dengan hormat dilakukan setelah hakim yang bersangkutan diberi kesempatan
secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
Menurut
penjelasan pasal tersebut:
1. Yang dimaksud dengan "dipidana"
ialah dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
2. Yang dimaksud dengan "melakukan
perbuatan tercela" ialah apabila hakim yang bersangkutan karena sikap,
perbuatan, dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan
martabat hakim.
3. Yang dimaksud dengan "tugas
pekerjaan" ialah semua tugas yang dibebankan kepada hakim yang
bersangkutan.[4]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setiap hakim dituntut mampu
mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di
dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu,
adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam
aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam
mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah
unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
Dengan
adanya kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik
dalam menjalankan tugas profesinya harapannya adalah untuk mewujudkan keadilan
dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus
dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada
hukum. Tetapi kenyataannya sekarang Hakim banyak menyimpang dari kode etik
tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang
berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang
begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai
ke publik.
B.
Saran
Untuk
itu, butuh adanya suatu landasan bagi hakim untuk menerapkan kode etik
profesinya dalam praktek sehari-hari. Hal ini karena kode etik hanya merupakan
sebatas aturan saja. Adanya Komisi Yudisial ataupun komisi yang dibentuk oleh
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) belum mencukupi dalam mengawasi hakim
menjalankan tugasnya. Dibutuhkan hukum yang tegas, moralitas hakim yang baik,
dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan kode etik
profesinya tersebut.
Hal
ini dikarenakan, kode etik profesi hakim merupakan sebuah hukum berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tetap dan tegas yang bersumber
dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agama berupa akhlaq yang melahirkan
nilai-nilai moralitas hakim yang baik. Dan hakim dalam menjalankan etika
profesinya sudah pasti harus diikuti pula dengan keimanan seorang hakim
terhadap agamanya karena hal tersebut akan menunjukan moralitas yang dimiliki
oleh seorang hakim sehingga ia akan menjalankan etika profesinya dengan baik.
Sebuah aturan (kode etik) yang bersumber dari nilai-nilai kebaikan sudah tentu akan bisa dijalankan dengan niat dan cara yang baik pula.
Sebuah aturan (kode etik) yang bersumber dari nilai-nilai kebaikan sudah tentu akan bisa dijalankan dengan niat dan cara yang baik pula.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Kamil,
Iskandar. "Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim
(Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah
Agung RI, 2006.
Kansil,
C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta:
Pradnya Pramita, 1996.
B.
Internet
Redaksi
Etika profesi hukum, http://lawriflaksana.blogspot.com/2010/06/etika-profesi-hakim.html, dikutp pada tanggal 26 April
2013.
[1] Iskandar Kamil, "Kode Etik Profesi Hakim" dalam
Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan,
(Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006), hal. 35.
[2] Ibid., hal. 40.
[3] C.S.T. Kansil dan Christine S.T.
Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum,
(Jakarta: Pradnya Pramita, 1996), hal. 46.
[4]
Redaksi Etika profesi hukum, http://lawriflaksana.blogspot.com/2010/06/etika-profesi-hakim.html, dikutp pada tanggal 26 April
2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar